Laman

Rabu, 17 Juli 2013

Sendiri & Sakit Hati

Ketika seorang (Toeta Tu Kurunae) bertanya di dunia fb, di suatu grup yang dinamai dengan Menjalin Ukhuwah, Isma'il Sya'roni Hasibuan coba untuk menanggapi. Percakapan tersebut sebagaimana berikut*;
Assalamu ‘alaikum,
Kawan-kawan bagaimana caranya agar bisa menjadi orang yang berguna bagi orang lain dan bagaimana agar kita itu tidak mempunyai sifat individual??? Syukran.
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wbarakatuh,
Sekadar menyampaikan yang pernah saya dengar/baca/pikir/alami/atau lainnya;
“Orang yang paling mulia adalah orang yang paling berguna”
Jadilah pelayan bukan yang dilayani
Kita memang kecil, tapi jangan pernah mau dianggap kecil
Puncak kebahagiaan adalah ketika kita peduli orang lain
"Siapa yang ingin luas rezeki, maka sambunglah kasih-sayang (shilaturrahìm)
Seringlah berkunjung, niscaya kasih sayang (hubb) akan bertambah
Sapalah mereka walau hanya dengan satu kata
Anda baik pasti orang pun baik pada Anda
Isma'il, tapi bagaimana caranya??? Aku orangnya individual, saat mau mulai pembicaraan aku selalu minder dan takut, aku selalu ingin sendiri karena menrutku; sendiri tu indah.... Meski kita sakit hati, tapi kita tidak akan menyakiti bila sendiri. Lebih-lebih bila aku lagi berantem sama pasangan atau lagi sebal sama kawan dan sahabat.
Cara yang pertama adalah dengan membuang rasa minder dan mengelola rasa takut tersebut, sehingga bisa menempatkannya pada yang seharusnya.  Rasa malu, takut dan marah adalah sifat dan sikap yang harus diolah oleh setiap orang. Karena bila belum/tidak mampu mengolahnya, suatu saat nanti atau setelah kejadian berlalu maka penyesalan/rasa bersalah pun akan menghampiri.
Kemudian diam memang lebih baik daripada bicara yang tiada mengandung makna dan hikmah. Daripada menumbuhkan rasa sakit dalam hati, lebih baik meninggalkan pembicaraan tersebut. Tapi terkadang bila tidak bicara mungkin ada hal yang seharusnya tidak terjadi akan terjadi. Adalah hikmah di balik ‘pikir dahulu baru bicara’.
Menyendiri juga kurang/tidak baik bila tiada manfaat. Bergabunglah dengan teman-teman meski itu hanya sekadar duduk bersama. Katakan/bercerita sekadar untuk mengisi suasana meski hanya basa-basi (tanpa unsur bohong/dosa) adalah baik. Sosialis atau tidak, bukan dinilai dari percakapan saja. Sebab, belum tentu orang pendiam itu tidak sosialis dan sebaliknya, sendiri atau menyendiri pun belum tentu dikatakan individualis/egois.
Takut menyakiti hati orang lain adalah rasa yang sangat bagus, dengan rasa itu bisa mengontrol diri, sikap, tingkah-laku agar tetap terjaga. Namun bukan berarti hal semacam itu menjadi penghalang untuk menyampaikan sesuatu. Kareana rasa takut, sebagai bagian dari emosional juga, adalah untuk diolah. Segala sesuatu tergantung pola pikir setiap orang. Oleh itu mengolah pola pikir itu sangatlah penting. Karena dengan pola pikir yang baik, seseorang bisa menjadi percaya diri, hebat, semangat, atau lainnya.
Dengan pola pikir yang baik juga, kita bisa mengatasi suatu masalah dengan baik. Seperti masalah yang berhubungan dengan sosial; orang, sahabat, pasangan atau keluarga. Masalah yang berkaitan dengan sosial, biasanya terjadi karena kesalah-pahaman atau perasaan, karena setiap pemahaman dan persaan itu pasti berbeda. Meski dalam ucapan ia sama, tapi yang dipahami dan/atau yang dirasakan itu pasti berbeda, hanya bisa dipahami/dirasakan yang memiliki tanpa bisa diungkapkan dengan kata yang pasti/tepat. Jadi, kita bisa mengolah pola pikir dengan menanamkan bahwa setiap kejadian harus dipelajari terlebih dahulu kemudian mengambil sikap yang tertata dengan baik, bukan buru-buru. Demikian denagan pemahaman dan perasaan, bahwa setiap pemahaman dan perasaan itu pasti berbeda serta menjadikan segala sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan perasaan itu sebagai hal yang lumrah/pasti terjadi, terutama terhadap pemahaman dan perasaan yang berbeda. Sehinngga kita bisa menyiapkan diri untuk itu, walau ketika pada kejadian ada asap iblis yang merasuk ke dalam jiwa, kita bisa dengan mudah untuk memaklumi dan meminta maaf dan/atau memaafkan, baik itu pada saat atau setelah kejadian.
“Malu bertanya sesat di jalan”
“Awalilah menyapa meski hanya dengan satu kata”
“Mulailah sapaan dengan menanyakan kabar”
“Cuek is the best” (lihat SiKon)
“Jangan pernah takut akan kebenaran yang ingin Anda sampaikan”
“Katakan yang benar meski itu terasa sulit/pahit”
Bottom of Form”Rasa persaudaraan akan terjalin dengan komunikasi/interaksi yang baik”
“Jadilah orang yang memiliki jiwa penyabar dan pemaaf”
“Jangan biarkan luka dalam hati berlarut”
“Segala sesuatu tergantung pola pikir setiap orang”
 “Minta maaf itu lebih baik daripada menunggu permintaan maaf”
“Saling memaafkan itu baik untuk kesehatan”
Terkadang kita mengira seseorang itu sombong hanya karena ia diam, menyendiri, logat berbicaranya, karena wajahnya (yang sudah demikian rupa), atau karena hal lainnya. Berkaitan dengan hal semacam ini, dalam buku Jawàhir al-Ahàdìts disebutkan bahwa Allah tidak menilai seseorang dengan meliht jasad, rupa, bentuk, penampilannya, atau lainnya. Akan tetapi Allah menilai melalui hatinya.
Dalam al-Qur`an juga diberitahukan bahwa Allah menilai seseorang dari segi usahanya bukan dari hasilnya dan orang yang paling mulia di sisiNya adalah orang yang paling taqwa, paling patuh padaNya. Demikian pula ada penjelasan bahwa orang yang paling baik dalam kehidupan adalah orang yang paling berguna, banyak memberi manfaat, bukan orang yang paling banyak bicara atau orang pendiam. Bisa saja orang pendiam dalam lisan adalah orang paling aktif dalam tulisan, mungkin ‘Diamnya adalah Emas’, atau hal-hal lainnya.
Sebab itu, tidaklah patut bagi setiap orang untuk menilai atau membenci seseorang, terutama itu tanpa alasan dan/atau bukti. Jika ingin membenci, boleh saja, tapi jangan selalu. ‘Benci yang Kamu benci cukup sekadarnya, karena suatu saat nanti mungkin ia adalah yang paling Kamu cintai. Sukai yang kamu suka cukup sekadarnya, karena suatu saat nanti mungkin ia adalah yang Kamu benci’.
Semoga manfaat.
Bàrakalláh lanà wa ‘alainà..


*Tulisan ini sudah melalui proses perbaikan dan tambahan

Rabu, 01 Mei 2013

Demokrasi dan Nilai-nilai Keislaman


A.     Pendahuluan
Pemerintahan demokrasi yang sudah lama berdiri dan masih banyak dipakai sebagai sistim pemerintahan di seantero dunia, sejak abad ke-5 SM hingga saat ini, terakui sebagai sistim pemerintahan terbaik, dan ternyata sistim pemerintahan demokrasi modern pada hakikatnya ada kesesuaian dengan jalur Islam. Bahkan di zaman Nabi Muhammad saw sudah ada gambarannya dalam bermasyarakat setelah hijrah, yaitu yang berawal di Kota Madinah. Seperti adanya Piagam Madinah adalah sebagai contoh betapa luasnya ajaran yang dikandung Islam dalam beribadah dan bermasyarakat.
Demokrasi yang berpihak pada kesejahteraan rakyat juga adalah hal yang sesuai dengan nilai-nilai agama Islam, sebagai agama yang rahmatan li al-‘alamin, agama yang mengajarkan agar hidup saling membantu, menghormati, menyatukan rumpun yang berbeda, dsb. dan yang demikian itu terdapat pula dalam demokrasi.
Sungguh, jika dipahami lebih dalam lagi, maka akan ditemui nilai-nilai keislaman dalam demokrasi, hanya saja terkadang ia beda istilah. Yang kemudian menjadi asumsi bagi sebahagian orang bahwa demokrasi adalah sistim pemerintahan yang menjemukan dan menyebalkan. Padahal, sebenarnya bukanlah demokrasinya yang menjadi masalah tapi pelaksanaan dan pemahaman tentangnya.

B.      Demokrasi
Demokrasi adalah gabungan dua kata yang berasal dari Bahasa Yunani kuno yang diutarakan di Athena, yaitu demos: rakyat dan Kratos: kekuasaan. Jadi demokrasi dari segi bahasa adalah kekuasaan rakyat atau rakyat yang berkuasa. Artinya kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan ada di tangan rakyat. Seiring perkembangan zaman, arti demokrasi berkembang seperti ‘demokrasi adalah sistim pemerintahan yang bentuk kekuasaannya ada di tangan rakyat dan wakil-wakil rakyat (para pejabat pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dengan voting terbanyak), atau istilah yang populer adalah: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Demokrasi adalah sistim pemerintahan yang ideal. Sebab dalam demokrasi hal yang paling utama adalah kesejahteraan rakyat tanpa pandang bulu. Sehingga dalam menentukan suatu urusan yang berhubungan dengan kenegaraan atau kesejahteraan rakyat haruslah melalui mufakat bersama yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat dan harus sesuai dengan perundang-undangan.
Dalam pemerintahan sistim demokrasi ada tiga lembaga yang menjadi pilar utama, yaitu eksekutif, yudikatif dan legislatif, yang kelak saling mengawasi satu dengan lainnya sehingga roda pemerintahan bisa berjalan dengan stabil, meski pada kenyataannya sering berbeda atau tidak sesuai dengan yang diharapkan. Karena kemungkinan besar kesalahnnya terletak pada voting yang dilakukan, yaiutu kebanyakan rakyat belum mengenali para calon/kandidat wakil rakyat sehingga ada yang terpilih padahal ia tidak pantas menjadi wakil rakyat.
Para wakil rakyat seharusnya memenuhi kebutuhan rakyat dengan menyediakan fasilitas usaha bagi para orangtua dan pendidikan yang baik bagi anak-anak mereka sehingga kenyamanan terasa oleh rakyat dan bukan mengutamakan keinginan mereka sendiri yang mengakibatkan rakyat merasa resah dan kebingungan. Karena dua hal tersebut adalah termasuk dari bagian hak-hak asasi rakyat yang paling utama dalam bernegara dan itu akan membawa kepada kesejahteraan rakyat dan juga akan kembali pada negara. Dengan demikian akan terwujud masyarakat yang madani.
Untuk mewujudkan masyarakat madani, sebenarnya demokrasi adalah sesuai untuk itu. Karena demokrasi berdiri dengan hal-hal berikut:
1.      landasan hukum yang akurat,
2.      manajemen pemerintahan yang tertata baik,
3.      sistim keamanan yang tersusun rapih,
4.      persamaan hukum bagi seluruh rakyat,
5.      keseimbangan antara hak dan kewajiban,
6.      kebebasan yang bertanggungjawab,
7.      mewujudkan rasa keadilan sosial,
8.      pengambilan keputusan dengan musyawarah mufakat, mengutamakan keputusan dengan musyawarah mufakat, dan
9.      menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional, mengutamakan kepentingan umum/kesejahteraan rakyat.
Beberapa hal berikut adalah yang harus diperhatikan dalam berdemokrasi:
1.      Para wakil rakyat yang harus membuka lebar pintu telinga mereka sehingga wawasan kian luas untuk menjalankan hal-hal yang diamanatkan pada mereka dalam memenuhi hak-hak rakyat,
2.      Setiap warga negara, baik pejabat pemerintahan ataupun rakyat biasa, harus saling menghargai dan menghormati, tenggang rasa, dan
3.      Melaksanakan kewajiban masing-masing, karena dengan demikian hak-hak asasi pun akan terpenuhi.

C.      Nilai-nilai Keislaman
Allah Subhàna wa Ta’àlà berfirman:
“Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan-Nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS Asy-Syura: 37-38)
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imran 3: 159)
Ayat di atas turun dalam konteks Perang Uhud, di mana pasukan Islam nyaris mengalami kehancuran gara-gara pasukan pemanah yang ditempatkan Nabi di atas bukit tidak disiplin menjaga posnya. Akibatnya posisi strategis itu dikuasai musuh dan dari sana mereka balik menyerang pasukan Islam. Namun walau demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetap bersikap lemah-lembut dan tidak bersikap kasar kepada mereka.
Sebenarnya sebelum perang Uhud Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah bermusyawarah terlebih dahulu dengan para sahabat tentang bagaimana menghadapi musuh yang akan datang menyerang dari Mekkah, apakah ditunggu di dalam kota atau disongsong ke luar kota. Musyawarah akhirnya memilih pendapat yang kedua. Dengan demikian, perintah bermusyawarah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini dapat kita baca sebagai perintah untuk tetap melakukan musyawarah dengan para sahabat dalam masalah-masalah yang memang perlu diputuskan bersama.
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris menyatakan: “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang ma’shum dan mendapatkan penguat wahyu, yang tidak pernah berbicara dengan nafsu diperintahkan dan diwajibkan oleh Allah agar bermusyawarah dengan para sahabatnya, sudah tentu, bagi para hakim dan umara` (pemimpin), musyawarah sangatlah ditekankan.” dan ‘Abdul Karīm Zaidan menyebutkan bahwa musyawarah adalah hak ummat dan kewajiban imam atau pemimpin.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang memiliki kedudukan yang sangat mulia itu banyak melakukan musyawarah dengan para sahabat beliau seperti tatkala mencari posisi yang strategis dalam perang Badar, sebelum perang Uhud untuk menentukan apakah akan bertahan di dalam kota atau di luar kota, tatkala Nabi berencana untuk berdamai dengan panglima perang Ghathafan dalam perang Khandaq, dan kesempatan lainnya.
Firman Allah swt yang lain tentang musyawarah: “Dan bermusayawarahlah dengan merka dalam urusan itu.” (QS. Ali ‘Imran: 58)
Firman Allah tentang landasan hukum yang akurat: “Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah pada Allah dan patuhlah pada Rasul dan Uli al-Amr (pemegang kekuasaan). Maka jika kalian berselisih pendapat, kembalikanlah (merujuklah) pada Allah dan Rasul-Nya (al-Qur`an dan Sunnah Rasul) jika kalian beriman pada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik (akibatnya).” (QS. Al-Nisa`: 59)
Masih banyak landasan musyawarah, landasan hukum dan lainnya yang belum tercantum dalam tulisan ini, dari al-Qur`an dan al-Hadits.

D.     Kesimpulan
Meski ada persamaan dalam perinsip demokrasi dan nilai-nilai keislaman, namun tetap saja demokrasi tidak bisa dikatakan sama dengan nilai-nilai keislaman secara utuh. Tapi hanya sebahagian saja yang sesuai. Yaitu pada perinsip dasar demokrasi, musyawarah dan kesejahteraan rakyat.

Oleh: Isma’il Sya’roni Hasibuan
Cilandak, 10 Februari 2012
Fak. Ushuluddin Inst PTIQ

Senin, 05 November 2012

DEMOKRASI*



Demokrasi merupakan sebuah sistim pemerintahan kuno yang berawal dari Negara Yunani dan masih berlaku hingga kini. Demokrasi juga merupakan sistim pemerintahan terbaik saat ini dan diberlakukan di berbagai negara. Termasuk negara Indonesia, adalah negara berpenduduk yang mayoritas penganut agama Islam, negara yang kaya budaya dan latar belakang suku dan lain sebagainya, namun sistim pemerintahannya adalah demokrasi.

Demokrasi adalah gabungan dua kata yang berasal dari Bahasa Yunani kuno, demokratia. Demos: rakyat dan Kratos: kekuasaan. Jadi demokrasi dari segi bahasa adalah kekuasaan rakyat atau rakyat yang berkuasa. Artinya kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan ada di tangan rakyat.
Demokrasi dalam pengertian istilah pemerintahan adalah sistim pemerintahan yang bentuk kekuasaannya ada di tangan rakyat dan wakil rakyat (pejabat pemerintahan), atau istilah yang populer adalah: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sistim pemerintahan demokrasi ada dua bentuk, yakni demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Demokrasi langsung adalah bentuk demokrasi yang rakyatnya langsung memberi suara atau pendapat dalam menentukan suatu keputusan tanpa perantara atau orang lain sehingga mereka memiliki pengaruh secara langsung terhadap politik dan perkembangan atau kemajuan dalam negara.
Seiring perkembangan zaman dan banyaknya penduduk serta meluasnya kependudukan dalam negara hingga jarak dan ruang menjadi faktor sulit untuk menerapkan demokrasi ini. Maka, muncullah sistim demokrasi terbaru (modern), demokrasi perwakilan, yaitu seluruh rakyat memilih perwakilan melalui pemilihan umum untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan bagi mereka.
Meski demikian, perinsip dan esensi demokrasi harus tetap ada. Misalnya, setiap rakyat dapat menyampaikan aspirasinya dalam kebijakan politik dan sosial secara bebas, hak asasi manusia yang terjamin, kedaulatan rakyat, tidak ada perbedaan dalam hukum, pemerintahan berdasar persetujuan wakil rakyat/rakyat, kekuasaan atau keputusan diambil dari mayoritas tanpa merendahkan hak-hak minoritas, kejujuran dan kebebasan dalam pemilihan umum, dsb.
Dalam pemerintahan demokrasi ada tiga lembaga pokok untuk menjalankan kepemerintahan demokrasi:
Þ          Lembaga Eksekutif
Lembaga eksekutif adalah lembaga pejabat tertinggi pemerintahan yang berkuasa atas kebijakan yang disepakati untuk kepentingan bersama atau umum. Contoh: Presiden.
Þ          Lembaga Legislatif
Lembaga legislatif adalah lembaga rakyat/wakil rakyat yang berkuasa atas kebijakan yang disepakati untuk kepentingan bersama atau umum. Contoh: DPR.
Þ          Lembaga Yudikatif
Lembaga yudikatif adalah lembaga penegak hukum yang berkuasa atas kebijakan atau keputusan dalam pelanggaran hukum. Contoh: Polisi.
Dari setiap sisi, segala sesuatu mesti ada kekurangan atau dengan istilah lain tidak ada yang sempurna. Dalam demokrasi juga demikian halnya, demokrasi memiliki kekurangan atau ketidak-sempurnaan. Misal; kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan umum. Karena orang/kelompok tertentu yang memiliki tujuan tertentu pula, maka lahirlah kecurangan atau ketidak-jujuran dalam proses pemilihan umum tersebut dan menghasilkan suara yang tidak sesuai dengan hasil sesungguhnya. Karena orang/kelompok tertentu pula, maka terciptalah partai-partai politik yang ingin mencapai tujuannya atau mencari keuntungan tersendiri dengan memanfaatkan demokrasi. Sehingga ada kemungkinan besar terjadinya korupsi yang tertutup rapi.
Sistim pemerintahan demokrasi ini pula adalah sistim pemerintahan yang menghabiskan banyak uang, mahal. Semakin banyak partai politik, semakin banyak pula pengeluaran uang. Terutama pada saat-saat pemilihan umum. Kampanye butuh uang, transportasi kampanye butuh uang, orang-orang utusan dalam kampanye juga butuh uang, dsb.
Jika ditelaah kembali, sebenarnya pemerintahan demokrasi ada kesamaan dengan pemerintahan ala Islàm yang berbentuk khilàfah, kebebasan rakyat dalam berpikir dan menyampaikan aspirasi demi kemakmuran bangsa dan negara. Namun pemilihan khalìfah/kepala negara, gubernur dan lainnya dalam pemerintahan Islàm, khilàfah, tidak sama halnya dengan sistim demokrasi. Pemilihan dalam demokrasi dengan pengajuan diri dan memerlukan banyak dana. Sedangkan dalam pemerintahan ala Islàm, khilàfah, dilakukan tanpa pengajuan diri tapi dengan penilaian ilmu, akhlaq atau moral dan tingkat ketaqwaannya kepada Sang Pencipta, kemudian yang terbaik dari orang-orang yang terkemuka akan diangkat menjadi khalìfah sepanjang hidupnya dengan permusyawaratan terpimpin oleh pemuka-pemuka agama dan ilmuan-ilmuan Islàm. Sedang dalam pemerintahan demokrasi, pejabat terpilih hanya selama tempo tertentu. Semua pejabat dalam pemerintahan, baik dalam pemerintahan ala Islàm ataupun pemerintahan demokrasi, berada di bawah kekuasaan kepala negara, khalìfah atau presiden.
Persamaan lain dalam pemerintahan Islàm dan demokrasi juga adalah semacam kebebasan dalam beragama. Hanya saja, dalam demokrasi semua rakyat diharuskan membayar pajak atau lainnya dan mereka bebas memilih agama. Sedangkan dalam pemerintahan Islàm, setiap pemeluk agama selain Islàm tidak diwajibkan membayar zakat. Tapi mereka diwajibkan membayar jizyah atau jaminan keselamatan sebagai warga negara, agar mereka berada di bawah naungan perlindunagan pemerintahan. Bagi pemeluk agama Islàm, peraturan-peraturan atau syariat Islàm tetap berlaku. Seperti yang murtad (keluar dari agama Islàm) dijatuhi hukuman mati atau diperangi jika tidak mau kembali kepada Islàm.
Dalam pemerintahn ala Islàm, khilàfah, juga dilakukan pengontrolan yang baik oleh pejabat-pejabat negara yang terpilih. Meraka juga tiada beda dengan rakyat lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya adalah khulafà` ar-rásyidìn, Abu Bakr ash-Shiddìq, ’Umar ibn Khaththáb, ’Utsmàn ibn ’Affàn dan ’Aly ibn Abì Thálib. Sebagai khalìfah, mereka menjalani tugas kenegaraan dan juga tetap bergaul dengan masyarakat tanpa memandang setatus dan membanggakan diri. Karena kemuliaan akhlàq, mereka menjadi terhormat dan disegani oleh rakyat. Sedangkan dalam pemerintahan demokrasi, hal semacam ini sulit bahkan tidak ditemukan. Para pejabat negara malah lebih tertutup dan susah untuk ditemui dan dihubungi.
Contoh lain dalam sistim pemerintahan ala Islàm adalah pemerintahan ’Abbàsiyah, Umawiyyah, Kerajaan Pasai, Aceh pada masa lampau, dll. Kemakmuran dan ketentraman rakyat adalah hal uatama dan penting dalam pemerintahan ala Islàm bukan mengutamakan kemewahan dan kebutuhan tambahan para pejabat seperti yang ada pada pemerintahan demokrasi.
Jadi, untuk kesimpulan, jika pemerintahan ala Islàm dipadukan dengan pemerintahan demokrasi, akan menjadi sisitim pemerintahan yang sangat baik dan bagus bahkan akan menjadi sistim pemerintahan terbaru dan terbaik sepanjang masa.
***
Ciputat, 03 Desember 2011

*Isma’il Sya’roni Hasibuan

Senin, 02 Juli 2012

PRANATA SOSIAL DALAM AL-QUR`ÀN

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”   QS. Al-Hujuràt [49]: 13
***
PRANATA SOSIAL DALAM AL-QUR`ÀN

Manusia adalah ciptaan Tuhan dari sekian banyak ciptaanNya, yang Dia ciptakan dengan kekhususan atau keistimewaan tersendiri, yakni ciptaan yang lebih sempurna dari ciptaan-ciptaan lainnya, ciptaan yang dibekali akal, pikiran, nafsu, dsb. Sehingga manusia mampu menguasai banyak hal bahkan bisa dikatakan sebagai ciptaan yang paling berkuasa (setelah Sang Pencipta) di alam semesta ini.
Dengan bekal yang Tuhan berikan dan perkembang-biakan serta perubahan dari setiap zaman, manusia kian menyebar di muka bumi hingga terbentuk kelompok, bangsa, ras, suku, klen dan lainnya yang menyebabkan lahirnya perbedaan-perbedaan dalam kehidupan manusia, baik dari segi adat, sosial, budaya, pranata, adab ataupun tentang pola hidup lainnya. Dengan demikian, wawasan dan pengalaman manusia akan menjadi luas kemudian kehidupan mereka kian baik. Sebab akan ada interaksi yang tidak terpisahkan dari manusia sebagai makhluk sosial, yang saling membutuhkan satu sama lain. Hal semacam ini sudah digambarkan dalam al-Qur`àn Surah al-Hujuràt [49]: 13 (seagaimana tercantum di atas). Ayat tersebut bukanlah landasan untuk berpacaran. Akan tetapi untuk bermasyarakat yang baik antar sesama manusia dengan mengusung ketaqwaan (ibadah, kebaikan dan kejujuran - kapan, bagaimana dan di manapun) meski berbeda latar belakang dan agar pola pikir serta kehidupan manusia tidak monoton, yang pada dasarnya manusia berasal dari satu jiwa;
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu, dan Dia menciptakan darinya pasangannya, dan Dia memperkembang-biakkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertaqwalah kepada Allah yang denganNya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan shilaturrahìm. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” QS. Al-Nisà` [4]: 1
Dalam kehidupan yang kian meluas dan perkembangan zaman yang kian maju dari berbagai aspek, menuntut setiap kelompok manusia _yang kian menyadari bahwa diri mereka adalah makhluk idividual yang juga makhluk sosial_ untuk mencurahkan pemikiran-pemikiran dalam membangun peradaban yang baik demi mencapai tujuan terbaik hingga memiliki keunggulan atau memiliki keberadaan yang nyata di mata masyarakat dunia. Maka dengan kekuatan shilaturrahìm (interaksi yang pro-aktif), wawasan dan pengetahuan serta pengalaman manusia kian bertambah dan luas, sehingga kekurangan-kekurangan yang ada pada diri dan kehidupan masing-masing kian jelas bagi mereka, yang kemudian mereka gunakan untuk menjalani kehidupan dan perbaikan yang terus menerus untuk mencapai tujuan tersebut. Mereka pun harus membentuk seperangkat aturan yang berlaku sekitar kegiatan atau kebutuhan mereka dalam bermasyarakat atau disebut juga dengan pranata sosial untuk memudahkan jalan ke tujuan.
Dalam pembentukan pranata sosial, sebagai ummat sosial yang berbudaya,  harus memperhatikan pranata agama agar tidak terjadi kerancuan yang memisahkan atau merusak kebersamaan dan kelangsungan dalam bermasyarakat, agar tidak melampaui batas-batas hukum agama, tidak menentukan hukum dengan mengubah yang sudah ditetapkan oleh agama dan agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang dilarang. Karena yang berhak menentukan hukum dalam urusan beragama hanyalah Tuhan. Seperti disebutkan dalam al-Qur`àn:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” QS. Al-Màidah [5]: 1
Setelah pranata sosial terbentuk, maka masyarkat yang terangkum dalam pranata tersebut harus bekerjasama untuk mewujudkannya sebagai bentuk keberadaan (eksistensi) mereka dengan nyata di masyarakat luas, karena setiap orang memiliki kewajiban atas hak bersama. Dalam hal ini al-Qur`àn mencantumkan tentang kerjasama dalam membangun kejayaan:
“… dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjid al-Haram mendorongmu untuk berbuat aniaya, dan tolong-menolonglah kamu atas kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong atas dosa dan pelanggaran, dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” QS. Al-Màidah [5]: 2
“Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang, maka barang siapa melihat (kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri, dan barang siapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka dialah yang rugi, dan aku (Muhammad) sekali-kali bukanlah pemelihara(mu).”  QS. Al-An’àm [6]: 104
Dengan terbentuknya pranata sosial, maka hak dan kewajiban antar sesama pun kian jelas dan lahirlah struktur sosial di tengah masyarakat. Seperti penanggungjawab atas tegaknya pranata yang sudah terbentuk. Perlu diingat juga bahwa pranata yang terpenting dalam kehidupan ini adalah pranata sosial agama dan pendidikan. Sehingga pranata-pranata yang lain, seperti pranata hukum,  perdagangan, dan lainnya menjadi jauh lebih baik, tidak bertentangan dengan ajaran yang dianut masyarakat beragama pada khususnya.
Dengan pendidikan yang baik akan terangkat martabat suatu kaum dengan tinggi, akan ada keistimewaan tersendiri. Sehingga kehidupan di dunia terasa lebih indah. Dengan ilmu rumah terngkat tanpa tiang dan kebodohan malah merusak yang sudah tertata rapih. Kemudian dengan agama, kehidupan setelah kematian kelak akan indah dalam kenikmatan.
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Al-Mujàdilah [58]: 11
Kemudian dalam pranata sosial, adalah wajar bila dalam setiap pranata ada sanksi, bahkan dikatakan pula bahwa pranata sosial adalah pola hidup dalam bermasyarakat dengan seperangkat aturan dan pelanggaran atasnya diancam sanksi dan setiap sanksi yang dijatuhkan tidak bisa diwakilkan kepada orang lain baik oleh penegak ataupun terpidana. Setiap orang harus bertanggungjawab atas segala yang dilakukannya, baik itu pria ataupun wanita.
“… dan tidaklah seseorang yang berbuat dosa melainkan dirinya sendiri yang bertanggungjawab, dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain …”
 QS. Al-An’àm [6]: 164
          Sanksi berfungsi sebagai efek jera bagi pelanggar hukum/pranata, dan ini dimaksudkan demi kebaikan perjalanan hidup untuk mewujudkan ketentraman dan kedamaian dalam bermasyarakat. Sanksi pun tidak bisa diwakilkan kepada orang lain, sanksi harus ditanggung sendiri oleh pelaku. (Allahu a’lamu bi al-shawàb wa ‘allamanà mà yanfa’unà. Àmìn..)

Jakarta, 25 April 2012

*Isma’il Sya’roni Hasibuan